Kisah dimulai di sebuah kampung kecil bernama Galogandang pada tahun 1963. Sorotan senja yang merah jingga mulai memudar, menggantikan siang yang panjang dan hangat. Langit yang tadinya cerah kini mulai ditutupi awan hitam yang bergerak lambat, mendekati rembulan yang perlahan muncul di langit senja. Angin kencang mulai bertiup, memainkan dedaunan dan merambat di atas tanah yang gersang.
Di tengah suasana senja itu, seorang bocah laki-laki bernama Kasim, berusia 12 tahun, baru saja selesai mandi. Ayahnya, Pak Uday, dengan wajah yang tak ramah, mendesaknya untuk segera pergi ke surau.
"Lebih baik wa’ang segera ke surau, Buyuang! Atau kusepak pantatmu itu nanti," ujar Pak Uday tegas. Kasim, setengah kesal, merengek karena perutnya yang lapar. Ayahnya tidak memedulikannya dan menyuruhnya untuk salat dan mengaji terlebih dahulu sebelum makan.
Perdebatan ringan terjadi di antara mereka, menciptakan dinamika hubungan yang menampilkan konflik antara generasi yang lebih muda dan lebih tua. Kasim mencela ayahnya yang tampaknya tidak memikirkan kelaparan di rumah.
Saat Kasim melangkah keluar dari rumah, pertemuan tak terduga dengan dua sahabatnya, Fikri dan Khairul, memberikan sentuhan humor pada cerita. Fikri dengan candaannya tentang kebersihan Kasim, dan Khairul yang selalu berada dalam situasi finansial yang lebih baik, menambahkan lapisan ke dalam dinamika persahabatan mereka.
Mereka merencanakan untuk mencari makan malam ini, menyemarakkan suasana ringan dalam kisah yang sejauh ini telah menunjukkan kehidupan sehari-hari di kampung itu.
Di dalam surau, ketika mereka berdua menunggu waktu maghrib, elemen kilas balik mengenai kisah hidup mereka dan perjuangan keluarga muncul. Fikri menceritakan betapa sulitnya kehidupan di rumahnya, sementara Kasim merenungkan mengapa ia harus membantu sahabatnya dan keluarganya yang tampaknya tak berdaya.
Senja semakin gelap, dan suasana dramatis semakin terasa. Rencana mencari makan malam menjadi petualangan tersendiri ketika mereka menyadari bahwa rumah Khairul adalah satu-satunya harapan mereka untuk mengisi perut yang keroncongan.
Namun, ketika mereka tiba di belakang rumah Khairul, kejadian tak terduga terjadi. Mereka menyaksikan Pak Anwar, ayah Khairul, tiba-tiba muncul dengan senter di tangannya. Ketegangan mencapai puncaknya ketika mereka berusaha bersembunyi dari pandangan ayah Khairul, menciptakan momen dramatis yang penuh dengan ketakutan dan ketidakpastian.
Rasa lapar mereka terlihat sepele dibandingkan dengan ketakutan akan ketahuan oleh Pak Anwar. Dialog yang terjadi di antara mereka, berisi ancaman dan desakan untuk tetap diam, membawa elemen konflik yang lebih intens.
Cerita berlanjut dengan pemahaman mendalam tentang kehidupan masing-masing karakter, terutama melalui pembicaraan Fikri tentang kesulitan hidupnya. Narasi menggambarkan suasana kampung yang keras dan kehidupan keluarga yang berjuang.
Demikianlah, di antara ketegangan dan drama, cerita "Kuburan yang Tidak Dirindukan" memberikan penggambaran yang kaya dan mendalam tentang kehidupan masyarakat kecil, menjelajahi aspek-aspek seperti persahabatan, kelaparan, dan ketidakpastian di tengah tekanan sosial dan ekonomi.
Kisah ini mengundang pembaca untuk merenung tentang kompleksitas hubungan antarmanusia dan bagaimana peristiwa-peristiwa kecil dapat membentuk takdir seseorang. Dalam gelapnya senja yang semakin dalam, pertanyaan mendasar muncul: apa yang sebenarnya dirindukan oleh kuburan yang tidak terpikirkan ini?
Selengkapnya baca di sini:
Posting Komentar untuk "Part Satu Kuburan yang Tidak Dirindukan Karya Triboy Mustiqa"